Belum habis rinduku terobati, kamu buru-buru pamit pergi untuk meninggalkanku lagi. Rasanya sangat sulit menahanmu tetap di sini, mengingat kita belum berada dalam status apapun. Dan, aku hanya bisa melambaikan tangan, mengucapkan beberapa kalimat, sambil memberi sedikit kode agar kamu tak lupa pulang ke sini. Aku menatap punggungmu yang terus menjauh dan menyesali mengapa lagi dan lagi harus berakhir sesingkat ini? Aku belum bercerita bagaimana awan mendung di duniaku telah terhapus ketika bertemu denganmu, namun kausendiri yang menambahkan awan hitam dan petir ketika aku mulai ingin membagi cerita-cerita ajaib bersamamu. Bukan kauyang merusaknya, tapi harapanku yang terlalu tinggi padamu membuat semua berubah jadi berbeda. Hubungan ini tak lagi membuatku nyaman, justru aku ketakutan.
Setiap hari, aku menunggu kamu kembali. Dan, saat pertemuan itu tercipta, rasanya aku ingin waktu terhenti. Aku mau memelukmu sampai puas, bersandar di lenganmu yang beraroma parfum kegemaranku itu, parfum yang selalu kusemprotkan ke tubuhku agar aku bisa tetap mengingat aroma tubuhmu; setiap kali kamu harus kembali ke duniamu lagi dan meninggalkanku seorang diri. Aku tak tahu selama ini kamu menganggapku apa. Semua kata cinta dan sayang itu telah terlontar, tapi saat kita tak bertemu, saat semua percakaan hanya bisa terjalin lewat ponsel; di sana kurasakan dirimu yang berbeda. Kamu yang tanpa kata sayang dan cinta, kamu yang tidak memberi kecupan walaupun sebatas titik dua bintang, kamu yang membalas rasa rinduku dengan dingin, dan kamu yang tak langsung menggubris pesan singkatku; seakan kamu tak khawatir membuat aku menunggu.
Semakin kamu bersikap seperti itu, Sayang. Semakin aku mencintai dan menggilaimu. Aku tak ingin menjauhimu, meskipun luka mulai diam-diam tergores di hatiku. Setiap kali aku berusaha membencimu, rasa benci itu hilang seketika ketika kauembuskan lagi kata cinta lewat pertemuan kita yang jarang sekali terjalin itu. Setiap kali aku memilih pergi, tiba-tiba kamu datang dengan rangkulan sederhana dan memperlakukanku layaknya ratu sejagad, yang harus dibahagiakan walaupun hanya satu hari. Setiap kali aku ingin melupakanmu, saat itu juga kau mengingatkanku pada kenangan-kenangan manis kita, yang begitu sayang untuk dileburkan dari ingatan. Aku tak tahu, Sayang, perasaan ini namanya apa, yang jelas aku sangat ketakutan. Takut kamu akan melirik yang lain jika hingga saat ini aku tak menanyakan status dan kejelasan.
Dari dulu aku selalu tegas, bahwa aku tak ingin terjebak pada status yang menyakitiku hari ini juga esok hari. Tapi, kamu datang dengan membawa energi baru, sisa-sisa panas yang kaubawa dari bulan, menyentuh lembut dahiku yang sedingin besi; rasanya terlalu munafik jika aku menolak perhatian dan kebaikanmu. Namun, aku tak tahu bahwa segala sentuhan sederhana itu bisa menimbulkan perasaan lain, perasaan takut kehilangan, perasaan ingin memilikimu seutuhnya, perasaan ingin dijadikan satu-satunya olehmu.
Berkali-kali kutatap matamu, setiap kali kamu ucapkan cinta di telingaku, dan aku terbuai oleh nyanyian itu. Semua yang kaulakukan membuatku semakin berharap terlalu tinggi, aku takut jatuh sendirian dan kautak menungguku jatuh di bawah sana. Aku takut kamu sedang berusaha menerbangkanku dengan sayapmu, lalu kelak di atas langit sana, kaubiarkan aku mengepakkan sayapku sendiri yang masih kecil dan tak tahu caranya menggerakan udara di sekitar sayap-sayap kecilku. Aku takut semua hal sedih itu terjadi justru di saat aku sedang sangat tak ingin kehilanganmu, Sayang.
Ingin sekali aku mengetahui perasaanmu. Kamu boleh menyalahkan aku, untuk segala hubungan tak sehat, pertengkaran yang ajaib, rindu yang memberontak, kangen yang menjengkelkan, serta hal-hal magis lain yang selalu membuatmu berpikir aku ini perempuan yang berbeda. Katakan saja kalau aku ini gila nomor satu, karena selalu ingin tahu kabarmu, selalu ingin menemuimu, selalu ingin merindukanmu habis-habisan. Anggaplah aku ini pasien sakit jiwa yang menanti obat penenang, dan kaulah si obat penenang yang selalu hilang ketika aku membutuhkanmu.
Anggaplah aku ini halte, Sayang, dan kauadalah bus yang berlalu-lalang, datang dan pergi, singgah dan menetap; untuk mencari-cari keuntungan yang bisa kaudapatkan. Katakan saja aku ini payung, yang hanya kaubuka ketika cuaca terlihat mendung, yang rela membasahi tubuhnya demi membuat tubuhmu kering. Bayangkan saja aku ini gadis kecil yang tak tahu apa-apa, yang melihat pria sederhana dan humoris, pria yang setiap selesai bertemu selalu memunculkan harapan baru, pria yang peluknya selalu ia rindukan, pria yang aroma tubuhnya selalu menimbulkan perasaan kangen, pria yang entah bagaimana bisa membuat gadis itu takut pada rasa kehilangan.
Aku sedang ada di titik sangat mencintaimu dan aku tak ingin kisah-kisah lama yang terjadi padaku harus terulang lagi dalam kisah baru kita. Aku sedang dalam keadaan sangat menggilaimu dan aku ingin terus gila, ingin terus sakit jiwa, agar tanpa rasa terpaksa; kamu berjalan menghampiriku, dan bersedia menjadi-- obat penenangku.
dari gadis
yang selalu kauanggap adik.
Posting Komentar